IDENTITAS DIRI WARGA PMII
Secara Antropologis
Secara Sosiologis
Masyarakat
PMII berasal dari perkampungan dan pedesaan yang tersebar di 33
provinsi di Indonesia, dengan ragam budaya, suku, etnis, ras,. Warga
PMII sebagian besar juga dibesarkan dalam tradisi santri dengan
kemampuan dan dasar agama yang tinggi. Sumber aliran warga PMII berasal
dari elit setempat. Baik sebagai anak kiai, guru mengaji maupun imam
masjid
Secara Telogis
Sebagaimana
bangsa Indonesia pada umumnya warga PMII menganut aswaja sebagai
idiologi dogmatis dengan karakter sejarah yang bergantung pada alur
sejarah teologi Islam masa lalu (abad pertengahan). Basis teologi warga
PMII pada awalnya berdiri dengan karakter sejarah yang statis. Ruang
dinamika kesejarahannya terhenti pada perdebatan yang bercorak
transendental-metafisik dan tidak empirik.
Secara Keilmuan
Masyarakat
PMII dibentuk dalam tradisi keilmuan yang berbasiskan ilmu-ilmu agama
dan sosial humaniora. Sementara itu, ilmu-ilmu eksakta dan teknologi
tidak begitu mendapat ruang sehingga tidak terjadi diversifikasi peran
keilmuan yang seimbang antara eksakta dan humaniora.
Secara Politik dan Ekonomi
PMII
menjadi bagian dari-dan dekat-dengan masyarakat marjinal. Kesadaran ini
dapat dijadikan roh, idiologi dan spirit dari gerakan yang dilakukan.
Dan dari kesadaran ini pula akan memunculkan identitas kultural dan
rekayasa sosial yang spesifik dan sesuai dengan kondisi latar belakang
di atas.
Dari
pembacaan kondisi sosio-politik bangsa dan identitas diri kemudian
muncul kebutuhan akan adanya kerangka teori atau paradigma gerakan
sebagai bagian dari penyadaran dan pemberdayaan dari kondisi
kultural-internalnya, di sisi lain juga harus membebaskan sistem
sosi-politik yang hegemonik menuju masyarakat bebas, merdeka, adil dan
makmur.
Peran
pemberdayaan dan pembebasan ini sangat terkait dengan nilai-nilai
keimanan yang dianut oleh warga PMII, yaitu aswaja (ahlusunnah wal
jamaah). PMII dengan totalitas kebangsaannya secara produktif menjaga
pilar-pilar pemikiran pluralisme. Keislaman PMII adalah pribumisasi
ajaran universal Islam, dengan keteguhan total kepada segenap khazanah
Islam dan bangsa Indonesia.
Wal
hasil, identitas PMII terletak pada tiga ruang gerak. Pertama,
intelektualitas, kedua, religiusitas dan yang ketiga adalah kebangsaan.
Dengan menyadari identitas PMII diri inilah kemudian PMII dituntut untuk
mampu kreatif dan menggeliat dari arus penyeragaman
Profil Pirbadi PMII
Dalam
Konggres X PMII tanggal 29 Oktober 1991 di Jakarta, dihasilkan
Deklarasi Format Profil PMII. Deklarasi ini merupakan kristalisasi dari
tujuan pergerakan sebagaimana yang tercantum dalam AD/ART, yakni
“Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang berbudi luhur, berilmu dan
bertaqwa kepada Allah SWT, cakap serta bertanggung jawab dalam
mengamalkan ilmu pengetahuannya”.
Bagi
PMII ilmu adalah alat untuk mengentaskan diri dan masyarakat dari
kebodohan, ketertindasan dan keterbelakangan. Ilmu diperoleh untuk
diamalkan karena ilmu yang tidak dimanfaatkan malah akan mendatangkan
azab.
Inspirasi profil pribadi PMII dapat ditemukan dalam Alqur’an pada surat-surat berikut yang penting untuk kita tadabburi, yakni:
- Al Baqoroh : 179, 197, 286,
- Ar Ra’ad : 19,
- Ibrahim : 52,
- Shad : 29, 43,
- Az Zumar : 9, 18, 21,
- Al Maidah : 100,
- Yusuf : 111,
- At Thalaq : 10,
- Al Hujuroh : 13,
- Ar Rohman : 33,
- Ali Imron : 7, 190, 191,
- Al Mujadallah : 11
Tri Motto PMII | Beilmu Beramal Bertaqwa |
Tri Khidmah PMII | Taqwa Intelektualitas Profesionalitas |
Tri Komitmen
|
Kejujuran
Kebenaran
Keadilan
|
Eka Citra diri PMII | Ulul Albab |
Sebagai
komunitas mahasiswa, PMII sadar bahwa dalam mengabdikan ilmu
pengetahuan dalam medan perjuangan membutuhkan keahlian dan
profesionalitas secara bertahap, terancana, dan menyeluruh. Oleh
karenanya PMII membakukan format pribadi PMII sebagai mana yang terdapat
dalam table di atas.
PARADIGMA PMII
- 1. PENGERTIAN
Paradigma
merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuan. Paradigma
tidak hanya membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga
memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan,
sehingga membuat perbedaan antara ilmuan satu dengan yang lainnya.
Paradigma
merupakan konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan
prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan
keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas
sosial.
Paradigma
merupakan konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem
kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi, dalam kesatuan
kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma
adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan.
Paradigma, juga merupakan pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog
dengaan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebai prinsip-prinsip
dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai
lokalitas masalah dan medan juang.
- 2. PERAN PARADIGMA
Dengan
paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi modal gerakan
di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model
gerakan “jalanan” dan gerakan “pemikiran “.
Gerakan
jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan
transformasi sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui
eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan
ilmiah yang lainnya, termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak
yang memegang kebijakan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perbedaan
antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan,
tetapi yang berimplikasi pada pada objek dan lahan garapan. Aapa yang
dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap
penting dan perlu oleh gerakan pemikiran dan begitu sebalikmya, walaupun
pada dasarmya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan.
Dalam
sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model jalanan
dengan intelektual-intelektual. Begitu juga sejarah gerakan PMII selalu
diwarnai dengan “pertentangan” yang termanifestasikan dalam gerakan
politik-struktural dengan gerakan intelektual/struktural dengan gerakan
intelektual/kultural.
Semestinya
kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga
memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar
yang menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting untuk
dirumuskan. Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi
gerakan, tidak menjadi masalah, dan bahkan secara sinergis bisa saling
menguatkan dan mendukung.
Letak
paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan
yang dilakukan sesuai dengan lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
- 3. PENERAPAN
Sepanjang
sejarah PMII dari Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma yang
telah dan sedang digunakan. Masing-masing menggantikan model paradigma
sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan sesuai perubahan
dengan konteks ruang dan waktu. Ini berbsesuaian dengan kaidah
Taghoyyuril ahkami bi taghoyyuril azminati wal amkinati. bahwa hukum itu
bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Berikut ada
beberapa jenis paradigma yang disinggung di atas:
- a. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Nalar
gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa
kepengurusan Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend)
1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam
bidang sosiologi digunakan dalam PMII.
Paradigma
pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergeraan yang
gerah dengan situasi sosial-politik nasional. Era pra reformasi di PMII
menganut paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Paradigma
ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru telah
menghasilkan format poltik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh
berbeda dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist
state) di beberapa negara Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu antara
lain adalah.
- Munculnya negara sebagai agen otonom yang perannya kemudian “mengatasi” masyarakat yang merupakan asal-usul eksistensinya.
- Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dallam proses rekayasa sosial, ekonomi dan politik.
- Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat-termasuk kaum intelektual.
- Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jarigan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politis.
- Penggunaan secara efektif hegemoni idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada.
Rezim
Orde Baru adalah lahan subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap negara
yang hegemonik. Sikap perlawanan itu didorong pula oleh teologi antroposentrisme transendental yang memposisikan manusia sebagai kholifatullah fil ardh.
Hal
penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial
yang dilakukan PMII. Rekayasa sosial yang dilakukan melalui dua pola,
pertama, melalui advokasi masyarakat, kedua, melalui Free Market Idea.
Advokasi dilakukan untuk korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada
tiga yakni, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta
pendampingan.
Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagan dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society. Kemudian yang diinginkan dari Free Market Idea adalah
tejadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh
individu-individu yang bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi
dan independensi.
- b. Paradigma Kritis Transformatif
Pada
periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan
paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya, prinsip-prinsip dasar
paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus Balik. Titik
bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan
eksemplar-eksemplar teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme
intelektual muslim seperti, Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad
Arkoun dll.
Di
lapangan terdapat konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode
sebelumnya, gerakan PMI terkonsentrasi di aktivitas jaanan dan wacana
kritis. Semangat perlawanan terhadap negara dan dengan kapitalisme
global masih mewarnai gerakan PMII.
Kedua
paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid
(almarhum) terpilih menjadi presiden ke-4 RI pada november 1999. para
aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan
saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society
Indonesia naik ke tampuk kekuasaan.
Aktivis
pro-demokrai mengalai kebingunagan antara mendampingi Gus Dur dari
jalur ekstraparlementer, atau bersikap sebagaimana pada
presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada
kenyataan bahwa masih banyak unsur-unsur orba yang memusuhi preiden ke-4
ini.
Pilihan
tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah
menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian secara rasional
sikap PB. PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas
terbuka mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformai yang secara
konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.
- c. Paradigma Menggiring Arus, berbasis realitas
Pada
masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) Secara
massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan
frontal baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan kapitalis
internasional. Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita
gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat.
Aktifis-aktifis PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan
temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional yang sangat
berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca.
Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktifis PMII
sering larut pada impian membendung dominasi negara dan ekspansi
neoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis untuk
mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
Celakanya,
konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir seluruhnya
beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelktualpun tidak ada
kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme.
Dengan
kata lain dalam upaya melawaan neoliberalisme banyak gerakan
terperangkap dalam knsep-konsep Liberalsme, Demokrasi, HAM, Civil
Society, Sipil vs Militer, Federalisme dll yang dipahai sebagai agenda
substansial padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya
nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal.
Persoalan
sulitnya membangun paradigma berbasis realitas paralel dengan kesulitan
membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia.
Konsekuensi yang harus diambil dari penyusuan paradigma semacam ini
adalah, untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari gerakan
mainstream. Bagaimanapun untuk meembangun gerakan kita harus
mendahulukan kenyataan dari pada logos.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar