Dunia
pers Indonesia tak akan bisa melupakan nama Mahbub Djunaidi yang
pernah tiga kali memimpin organisasi kewartawanan, PWI, Mahbub juga
dikenal sebagai pemikir NU
Ia lahir
di Jakarta, 27 juli 1933, anak pasangan dari H. Djunaidi dan Ibu
Muchsinati. Ayahnya sebagai Kepala Biro Peradilan Agama pada
Kementerian Agama yang setiap awal ramadhan dan malam idul fitri
mengumumkan hasil rukyah melalui radio. Mahbub Djunaidi, sebagaimana
anak-anak Indonesia pada umumnya di zaman revolusi kemerdekaan, usia
sekolahnya panjang. Dia baru duduk dikelas satu SMP menginjak usia 16
tahun, saat seharusnya menyelesaikan sekolah pertama. Usia 16 tahun itu
bersamaan dengan waktu pemulihan kedaulatan RI dari Belanda tahun
1949.
Menginjak
usia remaja, Mahbub Djunaidi bergabung ke dalam Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU), organisasi kader partai NU (saat itu), selagi
masih duduk di SMA. Dia hadir di kongres pertama IPNU di Malang 1955
yang dibuka oleh Presiden RI Sukarno, di saat negeri ini beberapa bulan
lagi akan menyelenggarakan pemungutan suara pemilu pertama.
Gerakan MahasiswaMahbub
mulai menulis waktu SMP dan waktu di SMA tulisan-tulisannya sudah
dimuat di majalah-majalah bergengsi waktu itu, seperti Siasat (sajak),
Mimbar Indonesia (esai), Kisah, Roman, Star Weekly, Tjinta (cerita
pendek). Ia terjun ke dunia jurnalistik pada tahun 1958 mengisi harian
duta masyarakat yang kemudian ia menjadi Pemimpin Redaksinya pada tahun
1960-1970.
Di tengah memimpin Duta
Masyarakat sebagai corong partai warga nahdlyyin-saat itu-, ia juga
berhasil mendeklarasikan organisasi mahasiswa NU yang berafiliasi ke
partai NU (waktu itu) yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) pada tahun 1960. Ia sendiri sebagai ketua umum pertama selama
dua periode. Sekarang organisasi ini menjadi besar dan tumpuan
mahasiswa yang berbasis nahdliyyin. Pendek kata, dimana ada cabang NU,
disitu ada PMIInya, karena pernah menjadi anak kandung saat NU jadi
partai politik.
Sebagai sebuah
organisasi kader partai yang tergolong besar, tidak bisa lain dia juga
harus seorang pendidik. Pada tahun 1961, melalui kongres pertama PMII
dilahirkan pokok-pokok pikiran yang diwadahi dalam apa yang disebut
“deklarasi tawangmangu”. Deklarasi tersebut isinya meliputi pandangan
tentang dan sikap terhadap sosialisme Indoensia, pendidikan nasional,
kebudayaan nasional dan lain-lain. Deklarasi tawangmangu merupakan
refleksi PMII terhadap isu nasional pada saat itu.
Mahbub
berusaha dengan sungguh penuh agresif menjadikan PMII sebagai wadah
pembentukan kader, sebagaimana diamanatkan kepadanya oleh musyawarah
mahasiswa NU seluruh Indonesia. salah satu cara membentuk jiwa dan
menempa semangat kader adalah melalui lagu-lagu mars PMII, lagu yang di
nyanyikan setiap saat akan acara penting PMII sampai sekarang masih
tetap dipertahankan.
Sehingga tidaklah berlebihan kantor PB PMII, Bangunan seluas 400 meter persegi yang beralamat di Jl Salemba Tengah 57A Jakarta Pusat bernama “Graha Mahbub Djunaidi”. Pemberian nama Graha Mahbub Djunaidi tersebut merupakan penghormatan kepada Ketua Umum PMII pertama yang menjabat selama dua periode pada tahun 1960-1963 dan 1963-1966, kata Malik Haramain, Ketua Umum PB PMII tahun 2003-2005 saat peresmian kantor tersebut.
Sehingga tidaklah berlebihan kantor PB PMII, Bangunan seluas 400 meter persegi yang beralamat di Jl Salemba Tengah 57A Jakarta Pusat bernama “Graha Mahbub Djunaidi”. Pemberian nama Graha Mahbub Djunaidi tersebut merupakan penghormatan kepada Ketua Umum PMII pertama yang menjabat selama dua periode pada tahun 1960-1963 dan 1963-1966, kata Malik Haramain, Ketua Umum PB PMII tahun 2003-2005 saat peresmian kantor tersebut.
Setelah
aktif sebagai Ketua Umum PMII, Mahbub kemudian diminta pula membantu
pengembangan Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor). Ia sempat duduk sebagai
salah satu ketua pimpinan pusat organisasi kader NU untuk kalangan
pemuda tersebut. untuk organisasi inipun, Mahbub menulis lirik lagu
marsnya yang tetap di gunakan sampai sekarang.
Setelah
dirasa cukup membantu pada organisasi kader muda NU, akhirnya ia di
tarik ke rahim NU-nya yaitu sebagai Wakil Sekjend PBNU (1970-1979) dan
Wakil Ketua PBNU mulai tahun 1984-1989.
Setelah
terjadi pasifikasi politik NU pada muktamar di Situbondo, Jawa Timur
tahun 1984 dengan jargon kembali ke khittah 1926, Mahbub pun mempunyai
penafsiran sendiri tentang hal itu. Ia memperkenalkan menggagas istilah
“khittah plus”. Menurutnya, kembali ke khittah 1926 bukanlah merupakan
perwujudan dari sebuah perjuangan. Pendek kata, Mahbub menginginkan NU
kembali berpolitik praktis sebagai wadah aspirasinya, mengingat NU
–waktu itu- selalu dipinggirkan.
Pena Sebagi Teman Karib Dan PolitikusSelama
sepuluh tahun memimpin media harian Duta Masyarakat sebagai corong
partai NU -saat itu-, tulisan-tulisan Mahbub yang menggelitik mulai di
kenal oleh wartawan-wartawan senior dan media-media baik cetak maupun
eletronek. Lambat laun tapi pasti, ia terpilih sebagai Ketua PWI
periode 1965, 1968, dan 1970 ini dikenal sebagai sosok yang prigel,
luwes, dan profilik dalam menuangkan gagasan-gagasannya lewat tulisan.
Mahbub Djunaidi dikenal sebagai penulis dengan gaya bahasa yang lugas,
sederhana, dan humoris.
Bagi dunia
pers, nama Mahbub Djunaidi bukanlah nama yang asing lagi. Sebagai
seorang wartawan, Mahbub adalah wartawan pemikir yang cerdas dan
"kental", namun juga jenaka dan penuh kejutan-kejutan dalam setiap
tulisannya. Dalam istilah sekarang, ia adalah seorang yang humanis dan
moderat.
Menurut Jakob Oetama,
Pendiri dan Pemimpin Umum harian KOMPAS yang kenal secara pribadi,
mengamati Mahbub mencapai formatnya yang optimal sebagai wartawan,
justru ketika ia bebas dari beban-beban menjadi pemimpin redaksi Duta
Masyarakat dan sebagai aktivis partai atau keorganisasian lainnya.
Mahbub
menulis untuk rubrik Asal-Usul tiap hari minggu di harian Kompas
selama 9 tahun tanpa jedah, sambil masih juga diminta penerbitan pers
lainnya menulis topik-topik tertentu seperti Tempo, Pelita dan
lain-lain. Sebagian tulisan-tulisannya, lebih dari 100 judul telah
diterbitkan menjadi buku 'Mahbub Djunaidi Asal Usul'. Di situ dia
justru menjadi besar. Sebagai politikus, wartawan dan sastrawan, sosok
pemikirannya tampil.
Sosok Mahbub
Djunaidi, masih menurut Jakob, mempunyai gaya keunikan tersendiri dalam
tulisannya. Ia seakan bersaksi dalam buku “Mahbub Djunaidi, Seniman
Politik Dari Kalangan NU Modern”. Menurutnya, kalau kebanyakan penulis
adalah menganalisa suatu masalah dan baru menjelaskan ide-nya, maka
Mahbub tidaklah demikian. Baginya, suatu peristiwa, kejadian, atau sosok
orang bisa dijadikan alat untuk menjelaskan ide-idenya.
Dunia
politik pun tak lepas dari hari-hari Mahbub Djunaidi. Ketika NU
berafiliasi ke PPP, Mahbub Djunaidi menduduki jabatan sebagai salah
seorang wakil ketua DPP PPP dan kemudian di Majelis Pertimbangan Partai
(MPP).
Bela WartawanTapi,
sebelum itu, Mahbub juga pernah menjadi anggota DPR-GR/MPRS. Nah,
dalam posisi inilah naluri kewartawanannya muncul. Ia mengetuai pansus
penyusunan RUU tentang ketentuan pokok pers. Dalam tim pansus tersebut
ia dibantu oleh Sayuti Melik, RH Kusman, Soetanto Martoprasonto, dan
Said Budairi. Sebagai seorang politikus, ia tetap memikirkan nasib pers
di Indonesia. Hal ini diwujudkannya melalui penyusunan
perundang-undangan pers semasa almarhum menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) tahun 1965.
Sebagai
jurnalis, penulis dan sastrawan, Mahbub telah meraih prestasi yang
sangat baik. Tulisanya sebagai Pemred Duta Masyarakat telah menunjukkan
benang merah dari gagasan dan pikirannya mengenai berbagai masalah
yang dihadapi bangsa kita. Perjalanan panjang dalm organisasi di
lingkungan NU dapat menjadi bukti dari pengabdiannya kepada masyarakat.
Kiprahnya sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dapat
dari petunjuk dari pengabdiannya dalam mengembangkan kehidupan pers
nasional.
Tulisannya sebagai
sastrawan telah menununjukkan keragaman kemampuan yang dimilikinya
dengan meraih penghargaan sastra tingkat nasional. Kolom “Asal Usul”
yang dimuat secara tetap di tiap hari minggu harian Kompas selama jangka
waktu yang cukup lama menunjukkan kemampuan Mahbub dalam menulis dan
daya pikat tulisannya terhadap masyarakat. Gaya tulisannya sekarang
banyak ditiru oleh penulis Indonesia.
Terlepas
dari plus-minusnya selama berinteraksi dengan koleganya semasa hidup,
Mahbub Djunaidi adalah manusia biasa. Manusia adalah makhluk yang
punyak banyak kesalahan dan kelemahan. Kita menilai mereka tidak
semata-mata sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai manusia.
Yang
pasti Mahbub Djunaidi adalah tokoh nasional yang bersahaja, seorang
jenius yang berkarakter mengamati perkembangan hidup melalui
tulisan-tulisannya, penggerak organisasi dan seniman politik yang
dimiliki oleh NU dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sementara
Mahbub Djunaidi meninggal dunia pada tahun 1995 di usia 62 tahun, usia
yang masih cukup untuk beraktivitas dan berjuang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar